MAHABBAH MENURUT KONSEP TASAWUF

2 comments


Nah, ini dia salah satu tugas akhlak tasawuf saya. Ini hanya inti dari makalahnya aja. Semoga dapat membantu teman2 yaaaa.. :-bd


Nama  :  Desembri Yesti Mistari
Kelas   :  PBI 3 A
Subject:  Akhlak Tasawuf


PENGERTIAN MAHABBAH

Mahabbah (cinta) menurut para ulama tasawuf berarti “kehendak”, yaitu kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus dari pada rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan kepada hamba, suatu kedekatan dan ihwal rohani yang luhur disebut sebagai mahabbah.

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.[1] Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci.[2] Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang.[3]

Selain itu al-Mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.

Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas, tampaknya da juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan.[4]

Seperti telah dijelaskan, bahwa bagian terpenting dari tujuan sufi adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga dirasakan dan disadari berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu diyakini sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki.[5]

Menurut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat, namun intinya sama. Pendapat tersebut dihimpun sebagai berikut:

1) Al-Ghazali; mahabbah ialah cinta kepada Allah itu adalah maqom yang terakhir dan derajat yang paling tinggi dari segala maqom yang sesudahnya yaitu buahnya dari segala maqom yang sebelumnya. Ini merupakan pendahuluan untuk mencapai cinta kepada Allah.[6]

2) Syekh Jalaluddin; mahabbah ialah termasuk maqom yang sangat penting dalam tasawuf. Cinta tersebut merupakan suatu dorongan kesadaran melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan syahwat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Rasa cinta inilah yang mengalahkan hawa nafsu sehingga merasa lezat mentaati semuaajaran syariat. Kasih kepada semua yang dikasihi Allah dan benci kepada semua yang dibenci Allah.[7]

Menurut Syekh Jalaluddin dalam kitabnya “Sinar keemasan” yang menyatakan bahwa aku telah menyaksikan sendiri kasih sayang Tuhanku. Aku telah merasakan kesucian cinta-Nya. Karena Ridha dan sayangnya dilimpahkan nikmat-Nya kepadakau.[8] Ucapan ini menunjukkan bahwa Syekh Jalaluddin mengaku telah sampai pada maqam terakhir dan derajat yang paling tinggi di dalam suluknya, yakni maqam cinta dan ridha bahkan telah syuhud (menyaksikan) kasih sayang Tuhannya dan merasakan ridha-Nya atau dengan kata lain sebagai seorang salik telah sampai pada tujuan terakhir yang disebut ma’rifat yang sesungguhnya.

3) Al-Palimbani; mahabbah ialah ma’rifah hakiki yang lahir dari cinta, tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari ma’rifah. Mahabbah dan ma’rifah itu adalah dua hal yang masing-masing merupakan sebab tetap juga akibat dari yang lain. Kasih pada Allah tatkala itu, membawa kepada ma’rifah. Ma’rifah Allah tatkal itu melazimkan sebanar-benar kasih Allah Ta’ala.

4) Imam Qusyairi; mahabbah ialah kondisi yang mulia telah disaksikan Allah swt. Melalui cintanya itu, bagi hamba telah memperma’lumkan cintanya kepada Allah. Karenanya Allah swt. disifati sebagai yang mencintai hamba dan sihamba disifati sebagai yang mencintai Allah swt.



Pengertian mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan al-Qusyairi sebagai berikut:

اَلْمَحَبَّةُ حَالَةٌ شَرِيْفَةٌ شَهِدَاْلحَقَّ سُبْحَانَهُ بِهَالِلْعَبْدِ وَاَخْبَرَعَنْ مَحَبَّتِهِ لِلْعَبْدِ فَالْحَقُّ سُبْحَانَهُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْعَبْدَ وَالْعَبْدُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْحَقَّ سُبْحَا نَهُ

Al-Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.[9]

Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah.[10] Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena mahabbah adalah cinta yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, keinginan yang kuat dan ingin mendapatkan sesuatu, walaupun harus mengorbankan segalanya.[11]

5) Harun Nasution; mahabbah ialah cinta, yang dimaksudkan adalah cinta kepada Allah swt. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:

a. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.[12]

6) Al-Sarraj; mahabbah mempunyai tiga tingkatan, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif.

a) Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
b) Mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan Selalu rindu pada-Nya.
c) Mahabbah orang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.[13]

Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburmya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatukebal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah.

7) Abu Ali Dadaq; mahabbah ialah suatu sikap mulia yang dikaruniakan Allah kepada hamba yang dikehendakiNya. Allah memberitahukan bahwa Dia mencintai hambaNya dan hambaNya pun harus mencintaiNya.[14]

8) Abu Ya’kub; hakekat mahabbah ialah lupa terhadap kepentingan sendiri, karena mendahulukan kepentingan Allah swt.

9) Ibnu Qasim; mahabbah sesungguhnya sifat Allah dan segala kesempurnaan-Nya, hakekat asma alhusna yang menarik hati untuk mencintai-Nya untuk mendorong manusia mencapai Allah. Hati hanya mencintai yang sudah dikenal-Nya, ditakuti, diharapkan dan dirindukanNya. Ia merasa lapang karena dekat diri kepadaNya. Jadi karena kenal kepada sifat itulah manusia mencintai Allah. Manusia dapat mencapainya dengan kasyf dan limpahan karunia Allah swt.

10) Abdullah Tusturi; mahabbah ialah tanda cinta manusia kepada Allah dengan banyak menyebut nama yang dicintai dan yang demikian itu tidak akan tertanam dalam hati, melainkan sudah mencapai tingkat tasdiq dan tahkik, sehingga ia selalu bertaubat kepadaNya.

Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannnya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam, karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi terdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[15]

Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa al-Mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukannya maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan.[16]

Pendapat yang terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan dengan tingkatan mahabbah sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut sebagai ma’rifah oleh al-Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah tingkat kedua sebagai dikemukakan al-Sarraj di atas, sedangkan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga. Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah.


ALAT UNTUK MENCAPAI MAHABBAH

Dapatkah manusia mencapai mahabbah seperti disebutkan di atas? Para ahli tasawuf menjawabnya dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah dan Mistisis dalam Islam mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir ( سرّ ). Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb(  القلب ) hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh ( الروح ) sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga sir  ( سر ), yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari qalb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apa pun.[17]

Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.

Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:

وَيَسْئَلُوْ نَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَااُوْتِيْتُمْ مِّنَ االْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali. (QS. Al-Isra’, 17:85).



فَاِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْلَهُ سَجِدِيِنَ

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud. (QS. Al-Hijr, 15:29)

Selanjutnya di dalam hadis pun diinformasikan bahwa manusia itu diberikan roh oleh Tuhan, pada saat manusia berada dalam usia empat bulan didalam kandungan. Hadis tersebut selengkapnya berbunyi:

اِنَّ النَّا سَ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ اُمِّهِ اَرْ بَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنَ عَلَقَةً مِّثْلَ ذَ لِكَ ثُمَّ يَكُوْنَ مُضْغَةً مِّثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْ سَلُ اِلَيْهِ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ

Sesungguhnya manusia dilakukan penciptaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi alaqah (segumpal daging yang menempel) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang telah berbentuk)  pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya (HR. Bukhari-Muslim)

Dua ayat dan satu hadis tersebut diatas selain menginformasikan bahwa manusia dianugerahi roh oleh Tuhan, juga menunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tuduk dan patuh pada Tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.


TOKOH YANG MENGEMBANGKAN MAHABBAH

Nama lengkapnya ialah Ummu Al-Khair Rabi’ah Binti Ismail Al-Adawiyah Al-Qisiyah. Dia lahir di Basrah pada tahun 96 H/713 M. Ia hidup antara tahun 713-801 H.[18] Sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal dunia dalam tahun 185 H/796 M.[19] Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Dia berasal dari keluarga sejahtera tetapi hidup sederhana. Dari kecil dia tinggal di kota kelahirannya. Di kota ini Ummu Rabi’ah Al-Adawiyah sangat harum namanya sebagai seorang manusia suci dan sangat dihormati oleh orang-orang dikotanya.

Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.

Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.[20]

Ia terkenal sebagai Ulama Shufi wanita yang mempunyai banyak murid dari kalangan wanita pula. Rabi’ah menganut ajaran zuhud dengan menonjolkan falsafah hubb (cinta) dan syauq (rindu) kepada Allah. Salah satu pernyataannya yang melukiskan falsafah hubb dan syauq yang mewarnai kehidupannya adalah :

ماَعَبَدْ تُهُ خَوْفًامِنْ نَا رِهِ وَلَاطَمْعًافِىْ جَنَّتِهِ فَاَ كُوْنَ كَالْأَجِيْرِالسُّوْءِ=عَبَدْ تُهُ حُبًّا لَهُ وَشَوْقًااِلَيْهِ

Artinya: Saya tidak menyembah Allah karena takut kepada neraka-Nya, dan tidak pula tamak (untuk mendapatkan) syurga; (karena hal itu) akan menjadikan saya seperti pencuri imbalan yang berakhlaq buruk. (Ketahuilah), bahwa saya menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.

Di antara ucapannya yang terkenal tentang zuhd ialah-sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub:
            “ Suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata pada Rabi’ah: ‘Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!’ Rabi’ah menjawab: ‘Aku ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada orang yang bukan Pemiliknya?”
Di antara ucapan-ucapannya yang menggambarkan tenteng konsep zuhd yang dimotivasi rasa cinta adalah:
“ Wahai Tuhan! Apa pun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku, berikanlah kepada musuh-musuhMu. Dan apa pun yang Engkau akan berikan padaku kelak di akhirat, berikan saja pada teman-temanMu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.”[21]

Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran-lamaran pria salih, dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan rela lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya, bukan dariku”.[22] Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran kedekatan dengan Tuhan. Ketika sakit ia berkata kepada tamu yang menanyakan sakitnya: “Demi Allah aku tak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati, dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang dapat membuatku bahagia.”[23]

Cinta Rabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari ungkapan doa-doa yang disampaikannya. Ia misalnya berdoa “Ya Tuhanku, bila aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah diriku dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari surga; namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau, maka janganlah Engkau tutup Keindahan Abadi-Mu.[24]
يَاحَبِيْبَ الْقَلْبِ مَالِى سِوَاكَا
فَارْ حَمِ الْيَوْمَ مُذْ نِيًا قَدْ اَتَا كَا               
      يَا رَجَائِى وَرَاحَتِى وَسُرُوْرِيْ
قَدْأَبَى الْقَلْبُ اَنْ يُحِبَّ سِوَاكَا                
Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau.[25]
Atas syair-syair tersebut, al-Ghazali mengatakan: “Barangkali yang ia maksud dengan cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih sayang, rahmat dan iradah Allah telah sampai kepadanya”. Karena Allah telah menganugerahkan roh, sehingga ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.[26]
Syair-syair tersebut ia ucapkan pada saat telah datang keheningan malam dengan gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan orang-orang telah terbuai dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih karena pada waktu itulah roh dan daya rasa yang ada dalam diri manusia tambah meningkat dan tajam, tak ubahnya seorang yang bercinta yang selalu mengharapkan waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.
Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapannya yang ia cetuskan melalui gubahan kata yang indah, antara lain:[27]


الهى اغر قنى فى حبك حتى لا يشغلنى شىء عنك
الهى انا رت النجوم نا مت الحيون وغلقت الملوك
ابوابها وخلا كل حبيب يحبيبه وهذا مقا مى
بين يديك الهى هذا الليل قدادبر وهذاالنحار
قداسفر فليت شعرى اقبلت منى ليلتى فأ هنا
ام رد تها على فأ عز نى فو عز تك هذا دأ ب
مااحييتنى وعز تك لو طر د تنى عن ببك
مابرحت عنه لما وقع فى قلبى من محبتك

Tuhanku, aku terbenam dalam kasihku pada-Mu, tiada sesuatu yang melenyapkan ingatanku pada-Mu. Tuhanku, cahaya bintang gemerlapan, orang-orang pada tidur lelap dan pintu istana ditutup rapat, yang saling mencinta telah asyik berduaan, sedangkan aku kini bersimpuh di hadirat-Mu. Tuhanku, malam kini telah berlalu, siang akan segera menyusul, aku gelisah gundah gulana, apakah amalku Engkau terima yang membuatku bahagia, ataukah Engkau tolak yang akan membuatku nestapa. Demi kemahaperkasaan-Mu ya Tuhan, aku akan terus mengabdi pada-Mu selama hayatku. Seandainya Engkau usir aku dari ambang pintu-Mu aku takkan beranjak karena cintaku pada-Mu telah membelenggu jiwaku.

Demikianlah ungkapan cinta Rabi’ah kepada Allah yang telah merasuk sukmanya sehingga segala aktivitas nya tertuju hanya kepada-Nya. Selanjutnya ia bersenandung:[28]
ياحبيب القلب مالى سواكا- فارحم اليوم
مذ نبا اتاك يارجائ وراحتى وسرورى-
قدابى القلب ان يحب سواكا

Kasihku, hanya Engkau harap dambaku, Alirkan karunia-Mu bagiku yang bernoda, Kaulah harapanKu, kedamaianKu, kebahagiaanKu, Hatiku hanya pada-Mu semata.

Tampak jelas bahwa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena hadir bersama Allah, seperti terungkap dalam larik syairnya:
            Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu
            Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku
            Dengan temanku tubuhku berbincang selalu
            Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku

Dalam lariknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah terhadap Allah. Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia bersenandung:

احبك حبين حب الهوى وحب لا نك أهل
لذاكا فاما الذى هو حب الهوى فشغلنى بذ كرك
عمن سواك وأما الذى انت أهل له فكشفك
لى اكحجب حت اراكا فلا احمد فى ذاولا ذاكا
لى وكن لك احمد فى ذا و ذاكا
           
            Aku cinta Kau dengan dengan dua model cinta
            Cinta rindu dan cinta karena Kau layak dicinta
            Adapun cinta rindu, karena hanya Kau kukenang selalu, bukan selainMu
            Adapun cinta karena Kau layak dicinta, karena Kau singkapkan tirai sampai Kau 
                     nyata bagiku
            Bagiku, tidak ada puji untuk ini dan itu.
            Tapi sekalian puji hanya bagiMu selalu.




MAHABBAH DALAM AL-QUR’AN DAN HADIS

Paham mahabbah sebagaimana disebutkan di atas mendapatkan tempat di dalam al-Qur’an. Banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat saling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَا تَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ

Jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu. (QS. Ali ‘Imran, 3: 30)
يَأْ تِى اللهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْ نَهُ

Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya. (QS. Al-Maidah, 5: 54).
Di dalam hadis juga dinyatakan sebagai berikut:

وَلَا يَزَالُ عَبْدِ ى يَتَقَرَّبُ إِ لَيَّ بِا لنَّوَا فِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَ بَصَرًا وَيَدًا

Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku.

Kedua ayat dan satu hadis tersebut diatas memberitakan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh adalah berasal dari roh Tuhan. Roh Tuhan dan roh yang ada pada manusia sebagai anugerah Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah. Ayat dan hadis tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang digambarkan dalam telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.








DAFTAR PUSTAKA

As, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Cet. II. (Jakarta: Rajawali Pers, 2002)

Asmal May, Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin, Cet. I, (Pekanbaru: Susqa Press, 2001)

Asmal May, Pengembangan Pemikiran Pendidikan Akhlak Tasawuf, (Pekanbaru: Susqa Press, 2008)

Mahyuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), cet. III.

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996)

Siregar, A. Rivay, TASAWUF Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Cet. II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002)







[1] Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1990), hlm.96.
[2] Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafy, Jilid II, (Mesir: Dar al-Kitab, 1978), hlm.439
[3] Ibid. , hlm.349
[4] Ibid. , hlm.440.

[5] M. Mujeeb, The Indian Muslim, Chapter Vi, London; 114
[6] Chatib Quzwen, Mengenal Allah, Cet. 25, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 99.
[7] Asmal May, Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin, Cet. 1, (Pekanbaru: Susqa Press, 2001, hlm. 160.
[8] syekh jalaluddin, Sinar I, Hal. 89
[9]  Al-Qusyairi al-Naisabury, al-Risalah al-Qusyairiyah, (Mesir: Dar al-Kahir, t.t.), hlm.318
[10] Ibid. , hlm.319
[11] Jamil Shaliba, op. cit. , hlm.617.
[12] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1983), cet.III, hlm.70.
[13] Ibid., hlm. 70-71
[14] Asywane Sjukur, Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hlm. 160.
[15] Harun Nasution, op. cit. , hlm. 63.
[16] IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983/1984), hlm.125.
[17] Ibid., hlm.77.
[18] A. J. Arberry, Pasang-Surut Aliran Tasawuf, (terj.) Bambang Herawan, dari judul asli Sufism: An Account of The Mystics of Islam, (Bandung: Mizan, 1985), cet.I,hlm.49.Lihat pula Harun Nasutio,loc,cit., hlm.71.
[19] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet.XI, hlm.79.
[20] Ibid., hlm.71-72
[21] Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam, Routledge and Kegan Paul, London, hlm. 115.
[22] Aththar, Tadzkirat al-Aulia I, (Mesir: Al-Ma’rifat,t.t.), hlm.66.
[23] A. J. Arberry, op. cit., hlm.50.
[24] Al-Kalabadzi, al-Ta’arruf, (terj.) Arberry, hlm.159. Lihat pula harun Nasution, loc. cit., hlm.72.
[25] Ibid., hlm.74-75
[26] Hamka, op. cit., hlm.80.
[27] (Ibrahim Basyuni, Nasy-ah al-Tasawuf al-Islam,Dar al-Fikri, Kairo, 1969; hal. 190
[28] Al-Sarraj al-Thusi, Al-Luma’, tp., Kairo, 1951; 397
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments

  1. lihat juga http://www.ruangwacana.com/2017/07/mahabbah-dalam-pandangan-akhlak-tasawuf.html sebagai pegetahuan tambahan.

    ReplyDelete